Kamu kenapa Ros? Kog cemberut saja hari ini? Tanya saya saat di lhatnya
seharian itu di sekolah Rosi tidak seperti biasanya.
“ Tidak ada apa-apa “
“ Sungguh tidak ada apa-apa? Kalu ada yang kamu ceritakam aku siap
mendengarkan kok. Aku kan
sahabatmu, sahabat sejati selalu ada di saat kau suka ataupun duka “. Ucap
tari. Rosi hanya tersenyum.
“ Mentang-mentang sekarang semakin jago menulis cerpen dan puisi
kata-katamu menjadi dalam cerpen,” Celuk ningrum Tari tertawa, sebentar
kemudian ia duduk di sebelah Rosi.
“ Aku Cuma lagi sedih, kenapa hidupku tidak seperti teman-teman yang
lain. Tidak sepertimu, Rosi menopangkan tangannya di bawah dagu. Izza tentu
saja menjadi terkejut.
“ Kenapa dengan hidupmu ?” tanya saya penasaran, Rosi menarik nafas. Ani
sahabat yang baik, tidak ada salah bercerita pada sahabtnya itu.
“ Aku iri melihat teman-teman yang keluarganya lengkap, mempunyai ayah
dan ibu, tidak seperti aku. Sejak aku kelas 3 SD aku di tinggal ayah kerja ke
luar negeri, aku ingin merasakan bagaimana gembiranya mempunyai ayah. Pasti
sangat menyenangkan, ada yang mengajariku PR, mengajakku jalan-jalan tiap hari
libur “. Mata Rosi menerawang seakan membayangkan, aku mengelus-ngelus tangan
Rosi.
“ Sudah jangan bersedih. Kata Ibulu Allah itu Maha Adil. Apa yang telah
di berikan kepada kita itu adalah yang terbaik untuk kita. Bukankan hidup tampa ayah bisa hidup
bahagia pada ibumu ? ibumu sangat
menyayangimu kan
?” aku mencoba menghibur. Izza memandang Rosi tak berkedip. Apa yang dikatakan
Marisa itu benar, seharusnya ia tidak perlu bersedih apalagi menjadi anak yang
paling sengsara di dunia ini. Bukankah dirinya mempunyai ibu yang baik hati dan
sangat menyayangimu? Sebentar kemudian ia tersenyum sudah menghias bibir Rosi.
“ Terima kasih sa telah membuatku ingat, aku harus selalu bersyukur
kepada Allah karena memberi ibu yang sangat menyayangiku. Ani menganggik,
sahabat sejati selalu ada temanya disaat suka maupun duka “
“ Eh, Sa ! Anis tiba-tiba melepaskan pelukannya. Ani mengerutu alisnya
binggung.
“ Dulu waktu masih kelas 5 teman-teman sering mengejekku dengan sebutan
Yati pesek, hanya kamu yang tidak mengejekku, hanya kamu yang membahagiakan
ini, kenapa sih ?
“ Kata ibu nama itu mempunyai arti bagi si jengkel denga ejekan
teman-teman itu. Makanya aku tidak ikut mengejeknya. Karena aku membayangkan
bagaimana seandainya kalau aku yang di ejek ? pasti aku akan merasa sedih
sekali. Tapi kalau aku lihat kamu tidak pernah marah lagi kalau memanggilku
Yati Pesek? Tanya Anis ingin tahu.
“ Iya, biar saja mereka juga akan bosan apa. Lama-lama mereka akan bosan
sendiri. Kata Ibu semakin aku jengkel pasti mereka semakin mengejekku makanya
aku sekarang diam saja? Anis mengacukan ibu jarinya.
“ Bagus, memang harus seperti itu “
“ Uangku hilang, tiba-tiba saja Ema yang baru saja masuk kelas dan duduk
di bangkunya berteriak keras. Anis dan Ani pun tentu kaget.
“ Ada apa,
Ema? Anis dan Ema segera berdiri dari bangku mereka dan menghampiri Ema yang
masih mengaduk-gaduk isi tasnya dengan wajah pucat.
“ Uangku hilang …” ucapanya lemah, Anis dan Ani saling berpandangan,
siapa uang mengambil? Dari tadi mereka berdua asyik di dalam kelas ini asyik
bercerita, tidak memperhatikan anak-ank keluar masuk saat jam istirahat.
“ Coba kamu lihat lagi, siapa tahu kamu lupa menaruhnya,” Ani memberikan
usul.
“ Iya Ni, Ani mengingatkan.
“ Tidak mungkin lupa ! aku menaruhnya di dalam dompet tapi sekarang
dompetku kosong, tidak ada isinya sama sekali” Ema memperhatikan dompetnya.
“ Memangnya berapa uangmu yang hilang Ma?” tanya Ani mencari tahu.
“ Lima
Puluh Ribu “.
“ Haa … banyak sekali!” Ani dan Anis bersamaan Melongo dan saling
pandang maklum saja, Ema termasuk orang kaya jadi uang sakunya banyak.
“ Kalai begitu kita lapor wali kelas.”
Tiba-tiba bel istirahat habis berbunyi. Anak-anak lain mulai memasuku
ruang kelas, dan mereka melihat Ema menanggis dengan kepala tertelungkup di
meja. Dan sebentar kemudian, Ibu Eni yang kebetulan Wali Kelas mereka juga
masuk kelas.
“ Ada apa
nih?” tanya Ibu eni mencari tahu menghampiri kerumunan di meja Ema.
“ Uangnya Ema di dalam tas hilang, Bu”. Jawab Ani cepat.
“ Benat Ema? Ema mendoagakkan kepala kemudian menganguk.
“ Kalau begitu sekarang duduk di bangkunya masing-masing, Ani tolong kamu
panggil Pak Parman, ya?” pinta bu Eni.
“ Siap bu!” Ani pun segera bergegas keluar kelas untuk memanggil Pak
Parman. Guru Agama mereka, sepintas Ani melihat salah seorang temannya yang
duduk di bangku yang paling depan paling gelisah. Sepertinya ia kebinggungan ,
apa itu yang di buangnya ya?” pikir hati.
Hari itu terpaksa tidak ada pelajaran Bahasa Indonesia karena Bu Eni dan
Pak Parman melakukan pengeledahan pada seluruh anak-anak di kelas Ema. Tapi
selama pengeledahan itu tidak ada hasilnya. Tidak ada ank yang terbukti mencuri
uang di dalam dompet Ema yang berada di dalam tas sekolahnya.
Siang itu sepulang sekolah, Anis dan Ani sudah berjalan meninggalkan
pintu gerbang sekolah, tiba-tiba Ani menarik tangan Anis.
“ Nis …
sini aku bilangi?” ani berbisik di telinga Anis. Anis terlihat serius sesaat kemudian ….
“ Haa …? Kamu lihat sendiri?”
“ Tidak sih, tapi rasanya ada yang ganjal. Seperti gugup dan takut
ketahuan”. Jelas Ani tentang apa selanjutnya yang dilihatnya sebelum masuk
kelas untuk memanggil Pak Parman.
“ Tapi tadi waktu pengeledahan tidak terbukti anak yang mencuri uang Ema.
Terus apa selanjutnya yang dilakukan sekarang?” Anis bertanya, Ani terlihat
berfikit.
“ Kita tidak mungkin menuduhnya langsung. Iya memang kalau benarm kalau
tidak? Kita akan di anggap menfitnah.
“ Kalau memang yang dibuangnya keluar jendela memang uang yang
diambilnya, pasti dia sekarang mencari kesempatan untuk mengambil lagi.
Bagaimana kalau kita kembali ke kelas?” usul Anis. Ani menganggukkan kepalanya.
“ Ide bagus!” mereka pun bergegas memutar kembali ke kelas mereka.
Langkah mereka terhenti saat melihat seseorang terlihat berjongkok di
semak-semak di depan kelas mereka. Dengan langkah hati-hati Anis dan Ani
mendekati seseorang itu, gadis sebaya mereka yang terlihat sedang mengambil
sesuatu dari dalam semak-semak.
“ Kamu mencari apa? Dian? “ tegur Ani, gadis 11 tahun itu bernama Dian
itu adalah teman sekelas mereka. Yang tadi dipergoki Ani melemparkan sesuatu
keluar jendela saat Ani akan keluar kelas memanggil Pak Parman.
“ Oh….. Eh ….. Ini” Dian menyembunyikan tangannya dibelakang punggungnya.
“ Uang Ema yang tadi kamu buang ke semak-semak, ya?” celetus Ani. Wajah Dian nampak pucat. Ani
menghampiri Dian dengan lemah lembut tangan Dian yang masih brada di balik
penanggungan. Tangannya mengenggam sesuatu, ternyata uang kertas lima puluh
ribu di remas-meramas berada di pegangan tangan Dian.
No comments:
Post a Comment