Monday, December 03, 2012

DEMI TUNJANGAN PROFESI, GURU BEREBUT JAM MENGAJAR


Oleh Sri Winarni, S.Pd.
Guru Bahasa Indonesia SMPN 2 Trawas Mojokerto

 

Sejak digulirkan tahun 2006 yang lalu, sertifikasi guru sepertinya tidak pernah selesai diperbincangkan. Sertifikasi merupakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme seorang guru. Sehingga ke depan semua guru harus memiliki sertifikat profesi sebagai izin untuk mengajar. Program sertifikasi guru ini merupakan konsekuensi dari disahkannya produk hukum tentang pendidikan. Produk hukum yang dimaksud adalah UU RI. No. 20/2003 tentang Sisdiknas, UU RI. No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan PP RI. No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Namun, dalam pelaksanaannya, sejak awal digulirkan hingga sekarag, program sertifikasi guru ini tidak pernah sepi dari permasalahan yang ujung-ujungnya membuka celah pada upaya-upaya yang kurang elegan. Misalnya, di tahun-tahun awal kemarin, guna melengkapi portopolio, “sebagian” guru rela memalsukan dokumen atau prestasi kerjanya, bahkan bila perlu membajak hasil kerja guru lain untuk melengkapi portopolionya. Berbagai kecuranganpun terjadi.

Dan, setelah berjalan kurang lebih enam tahun, hal lain yang saat ini juga menjadi masalah dari program sertifikasi guru adalah beban mengajar guru bersertifikat profesi yang harus memenuhi 24 jam mengajar tatap muka. Hal ini membuat guru yang biasanya malas mengajar, demi mendapatkan sertifikat profesi harus berebut jam guna memenuhi tuntutan 24 jam mengajar tatap muka. Bahkan SK Pembagian Tugas Mengajar pun harus direvisi sampai 3-4 kali karena ada beberapa guru yang tidak terima dengan pembagian jumlah jam mengajar. Sebab, bila kurang maka tunjangan sertifikasi tidak akan dapat dicairkan.

Inilah sisi lain dari program sertifikasi guru. Guru yang sudah bersertifikasi lebih diutamakan dalam pembagian jam mengajar, mereka berbahagia dengan dua kali gaji yang mereka terima. Guru yang belum bersertifikasi harus mengalah meski jam mengajar dikurangi atau bahkan tidak mendapatkan jam mengajar sesuai dengan mata pelajaran yang diampu. Apalagi guru honor harus siap-siap berhenti. Meski dari segi  kompetensi mengajar sebenarnya tidak lebih rendah dari guru bersertifikat pendidik. Saya menyebut mereka “korban” sertifikasi.

Bila dikembalikan pada tujuan awal, sertifikasi guru sesungguhnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas guru yang diharapkan dapat berkorelasi pada meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia. Untuk itu, sertifikasi guru hendaknya dipahami sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan yaitu kualitas dan profesionalitas guru.

Para guru perlu menyadari bahwa tuntutan profesionalitas itu membutuhkan kerja keras, terutama dalam aktifitas mengajar, menggali informasi dari berbagai sumber, dan memodifikasi aneka strategi kreatif belajar mengajar. Guru juga harus terus belajar (bukan hanya mengajar) agar dapat meng-upgrade pengetahuannya sehingga dapat mengikuti dan menyiasati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peluang pemanfaatannya untuk menunjukkan proses belajar mengajar di kelas. Sehingga tujuan utama program sertifikasi yaitu meningkatkan keberhasilan pendidikan di Indonesia. Semoga. (Wien’s)

Tutorial Pengelolaan Google Classroom