Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku berminpi ingin mengubah dunia. Dunia yang penuh dengan kepalsuan dan keserakahan akan ku ubah menjadi dunia yang dihiasi dengan kebenaran dan kasih sayang. Tidak ada lagi kesombongan dan keangkuhan. Tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin.
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun, aku berusaha mewujudkan keinginan itu. Namun seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah.
Di mana-mana terjadi peperangan. Di sana-sini terjadi perampasan dan kekerasan. Yang kuat menindas yang lemah. Yang kaya menginjak-injak kaum yang miskin.
Aku semakin putus asa, sampai kapan pun aku tidak akan dapat mengubah dunia seperti yang ku inginkan. Maka, cita-cita itu pun agak kupersempit, mungkin kenginanku terlalu tinggi. Lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku sendiri. Yah... Aku ingin mengubah negeriku, Indonesia.
Negeri tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Semakin hari negeriku semakin penuh dengan keributan. Bom meledak di mana-mana. Indonesia semakin menangis. Rakyat semakin berduka. Teroris semakin keras tertawa tergelak-gelak. Pejabat-pejabat saling berdebat. Saling cela, saling ejek, saling sindir. Semua merasa benar. Teroris semakin terbahak-bahak.
Aku ingin mengubah negeriku menjadi negeri yang aman tentram. Kerukunan di mana-mana. Namun, tampaknya hasrat itu pun tiada hasilnya. Karena Indonesia meledak, rakyat bagai tersedak dan teroris makin tergelak.
Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang yang paling dekat denganku. Aku mulai dari suamiku. Suamiku adalah perokok berat. Aku ingin suamiku berhenti merokok demi kesehatannya.
Tetapi celakanya, ternyata usahaku sia-sia. Karena baik suamiku atau pun keluargaku yang lain, mereka pun tidak mau diubah. Mereka lebih suka hidup dengan cara mereka sendiri. Mereka tidak ingin dikekang. Mereka tidak ingin selalu didikte. Karena mereka punya kehidupan sendiri. Dan mereka ingin menjalani hidupnya sesuai dengan keinginan dan cita-cita mereka sendiri.
Dan kini, sementara aku berbring saat ajal menjelang. Tiba-tiba aku tersadar. ''Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku sendiri, maka jika aku telah mengubah diriku menjadi manusia yang memiliki rasa empati pada sekeliling, tidak egois, tidak plin plan, mempunyai keyakinan dan kepercayaan diri yang kuat, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku.'' Kataku dengan penuh penyesalan.
Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi aku pun mampu mengubah negeriku. Kemudian siapa tahu, aku bahkan bisa mengubah dunia.
Namun sis-sia itu semua. Kesempatan itu telah terlewati. Kini hanya ada penyesalan. Karena ajal telah menjemputku. (Wien's)
No comments:
Post a Comment