Guru Bahasa Indonesia SMPN 2 Trawas Mojokerto
Sejak digulirkan tahun
2006 yang lalu, sertifikasi guru sepertinya tidak pernah selesai
diperbincangkan. Sertifikasi merupakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme seorang guru.
Sehingga ke depan semua guru harus memiliki sertifikat profesi sebagai izin
untuk mengajar. Program sertifikasi guru ini merupakan konsekuensi dari
disahkannya produk hukum tentang pendidikan. Produk hukum yang dimaksud adalah
UU RI. No. 20/2003 tentang Sisdiknas, UU RI. No. 14/2005 tentang Guru dan
Dosen, dan PP RI. No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Namun, dalam
pelaksanaannya, sejak awal digulirkan hingga sekarag, program sertifikasi guru
ini tidak pernah sepi dari permasalahan yang ujung-ujungnya membuka celah pada
upaya-upaya yang kurang elegan. Misalnya, di tahun-tahun awal kemarin, guna
melengkapi portopolio, “sebagian” guru rela memalsukan dokumen atau prestasi
kerjanya, bahkan bila perlu membajak hasil kerja guru lain untuk melengkapi
portopolionya. Berbagai kecuranganpun terjadi.
Dan, setelah berjalan
kurang lebih enam tahun, hal lain yang saat ini juga menjadi masalah dari program
sertifikasi guru adalah beban mengajar guru bersertifikat profesi yang harus
memenuhi 24 jam mengajar tatap muka. Hal ini membuat guru yang biasanya malas
mengajar, demi mendapatkan sertifikat profesi harus berebut jam guna memenuhi
tuntutan 24 jam mengajar tatap muka. Bahkan SK Pembagian Tugas Mengajar pun
harus direvisi sampai 3-4 kali karena ada beberapa guru yang tidak terima
dengan pembagian jumlah jam mengajar. Sebab, bila kurang maka tunjangan
sertifikasi tidak akan dapat dicairkan.
Inilah sisi lain dari
program sertifikasi guru. Guru yang sudah bersertifikasi lebih diutamakan dalam
pembagian jam mengajar, mereka berbahagia dengan dua kali gaji yang mereka
terima. Guru yang belum bersertifikasi harus mengalah meski jam mengajar
dikurangi atau bahkan tidak mendapatkan jam mengajar sesuai dengan mata
pelajaran yang diampu. Apalagi guru honor harus siap-siap berhenti. Meski dari
segi kompetensi mengajar sebenarnya
tidak lebih rendah dari guru bersertifikat pendidik. Saya menyebut mereka
“korban” sertifikasi.
Bila dikembalikan pada
tujuan awal, sertifikasi guru sesungguhnya bertujuan untuk meningkatkan
kualitas dan profesionalitas guru yang diharapkan dapat berkorelasi pada
meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia. Untuk itu, sertifikasi guru
hendaknya dipahami sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan yaitu kualitas
dan profesionalitas guru.
Para guru perlu
menyadari bahwa tuntutan profesionalitas itu membutuhkan kerja keras, terutama
dalam aktifitas mengajar, menggali informasi dari berbagai sumber, dan
memodifikasi aneka strategi kreatif belajar mengajar. Guru juga harus terus
belajar (bukan hanya mengajar) agar dapat meng-upgrade pengetahuannya sehingga dapat mengikuti dan menyiasati
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peluang pemanfaatannya untuk
menunjukkan proses belajar mengajar di kelas. Sehingga tujuan utama program
sertifikasi yaitu meningkatkan keberhasilan pendidikan di Indonesia. Semoga. (Wien’s)