Media pembelajaran adalah suatu alat yang dapat membantu siswa supaya terjadi proses belajar. Dengan menggunakan media pembelajaran diharapkan siswa dapat memperoleh berbagai pengalaman nyata, sehingga materi pelajaran yang disampaikan dapat diserap dengan mudah dan lebih baik.
Berikut ini adalah salah satu contoh media pembelajaran yang dapat dibuat dan digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Penulis sudah mempraktikkan media pembelajaran ini dan hasilnya sangat bagus. Siswa sangat antusias dalam mengikuti pembelajaran. Proses pembelajaran menjadi menyenangkan.
DESKRIPSI MEDIA PEMBELAJARAN KOTAK HURUF
Nama Media : Kotak Huruf
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : IX / Ganjil
Bentuk Media : Sebuah Kotak Bertuliskan Huruf Awal dari opini yang ada di
dalamnya
Standar Kompetensi : Membaca intensif opini surat kabar
Kompetensi Dasar : Menemukan gagasan utama dalam opini surat kabar
Indikator : Mampu memahami pokok-pokok berita
Alokasi Waktu : 2 x 40 menit (1 pertemuan)
Alat dan Bahan : Gunting, Double tape, Kamera digital, Kotak warna-warni,
Guntingan opini dari Koran.
PROSEDUR PEMBUATAN
1. Persiapan alat dan bahan.Gunting, Double Tape, Kamera Digital
2. Menggunting opini dari Koran.
3. Membuat pertanyaan tentang gagasan utama yang terdapat dalam opini.
4. Memasukkan guntingan opini dan pertanyaan ke dalam kotak.
5. Menuliskan huruf pada sisi kotak sesuai dengan huruf awal pertanyaan dalam kotak.
CARA PENGGUNAAN MEDIA
1. Mengkondisikan siswa
2. Memberi pengantar tentang langkah dan tujuan pembelajaran serta peranan
penggunaan media.
3. Membagikan kotak warna-warni yang telah diisi pertanyaan dan ditulisi huruf.
4. Tiap siswa membaca soal yang ada di dalam kotak dan menjawabnya.
5. Setelah selesai, jawaban dimasukkan ke dalam kotak kembali dan diberikan kepada
teman sebangkunya untuk ditanggapi.
6. Hasil tanggapan dimasukkan bersama jawaban dari kelompok lain ke dalam kotak dan
diserahkan kepada guru.
Kemampuan membuat dan menggunakan media pembelajaran merupakan fokus kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang guru yang benar-benar profesional. Alasannya, kemampuan mendesain pembelajaran sangat berkaitan langsung dengan pelaksanaan tugas guru di lapangan sebagai pemegang kendali proses pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas.
Media Pembelajaran Kotak Huruf dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia sangat cocok karena sudah memenuhi kriteria pemilihan media yaitu : (1) Ketepatannya dengan tujuan pengajaran, artinya media pengajaran dipilih atas dasar tujuan-tujuan instruksional yang telah ditetapkan. (2) Dukungan terhadap isi bahan pengajaran, artinya bahan pelajaran yang sifatnya fakta, prinsip, konsep dan generalisasi sangat memerlukan bantuan media agar lebih mudah dipahami siswa. (3) Kemudahan memperoleh media, artinya media yang diperlukan mudah diperoleh, setidak-tidaknya mudah dibuat oleh guru pada waktu mengajar. (4) Keterampilan guru menggunakannya, artinya secanggih apapun sebuah media apabila tidak tahu cara menggunakanya maka media tersebut tidak memiliki arti apa-apa. (5) Tersedia waktu untuk menggunakannya, sehingga media tersebut dapat bermanfaat bagi siwa selama pengajaran berlangsung. (6) Memilih media pembelajaran harus sesuai dengan taraf berfikir siswa, sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami oleh para siswa. (Ditjen PMPTK, 2008 : 7-8).
Tidak ada media pembelajaran yang sempurna, maka seorang guru diharapkan mampu memilah dan memilih serta menentukan media dan metode pembelajaran yang paling relevan dengan tujuan dan situasi yang dihadapinya di kelas sehingga pembelajaran bahasa Indonesia menjadi lebih bervariatif, lebih bermakna, menantang dan juga menyenangkan. (Wien’s)
Oleh : Sri Winarni, S.Pd.
Guru Bahasa Indonesia UPTSP SMPN 2 Trawas
Email : wienskayun@yahoo.com
Thursday, March 10, 2011
Friday, March 04, 2011
Kisah Ulat, Kepompong, dan Kupu-Kupu
Pagi itu, aku mengajar di kelas IXA. Aku sengaja tidak memberikan materi pelajaran Bahasa Indonesia. Karena hari ini aku hanya ingin bercerita dengan siswa-siswaku. Setelah mengecek kehadiran dan mengisi jurnal kelas, aku memulai pembicaraan dengan siswa-siswaku. Hari ini aku mengambil topik ulat, kepompong, dan kupu-kupu.
“Siapa yang tahu ulat…?” Tanyaku.
“Saya Bu.” Jawab siswaku serempak.
“Ya, Semua orang pasti tahu ulat. Apa pendapat kalian tentang ulat?” Tanyaku kemudian.
“Hiiiii….. menjijikan, Bu.” Jawab salah seorang siswa.
“Ulat adalah binatang perusak, Bu.” Jawab siswa yang lain.
“Ya, benar. Kalau kita bicara tentang ulat, yang ada dalam benak kita pastilah sesuatu yang menjijikan, binatang perusak, dan selalu memakan tanaman yang telah kita pelihara dengan baik. Karena ulat tanaman kita jadi rusak. Daunnya berlubang-lubang. Setiap orang pasti bergidik dan tidak mau memegang ataupun hanya sekedar memandanginya.” Tegasku. Kuperhatikan siswaku satu per satu. Sepertinya mereka heran, kenapa aku berbicara masalah ulat yang tidak ada hubungan sama sekali dengan pelajaran yang biasa aku ajarkan. “Akan tetapi, apakah kalian pernah berfikir seandainya ulat itu bisa berbicara, kira-kira apa yang mereka katakan?” Tanyaku yang membuat mereka jadi semakin penasaran.
“ Seandainya ulat bisa bicara, saya yakin ulat itu pasti berkata, “Tolonglah tumbuhan, ijinkan aku memakanmu sedikit demi sedikit, sampai aku tumbuh menjadi besar, lalu aku berubah menjadi kepompong, dan setelah beberapa saat aku akan berubah jadi kupu-kupu. Maka sebagai balasan atas jasamu, aku akan menyiangimu sampai kau bisa berbuah. Bagaimana tumbuhan? Setuju bukan? Ya, memang, daunmu akan berlubang-lubang.” Jawab seorang siswa dengan wajah memelas. Semua siswa tertawa mendengarnya.
“Iya, benar. Tahukah kalian, tanpa kita sadari, sebenarnya fase hidup ulat menggambarkan sekilas dari kehidupan kita. Kita pasti pernah berada pada ‘posisi’ ulat. Kita sering dihina, ditendang, dan dicaci maki. Jika ada orang yang melihat kita, mereka seolah ingin membunuh kita, mereka seolah berharap bahwa kita tidak pernah dilahirkan. Bagaimana sikap kita terhadap perlakuan seperti itu? Proaktifkah? Atau reaktif?” Aku semakin bersemangat karena melihat tanggapan dari siswa-siswaku.
“Maksud, Ibu?” Tanya seorang siswa.
“Begini. Coba kita contoh ulat. Tujuan hidup ulat adalah untuk menjadi seekor kupu-kupu yang indah. Yang pada akhirnya menyiangi tumbuh-tumbuhan sehingga tumbuhan tersebut berbuah dan berguna bagi kita manusia. Ya, kita sudah seharusnya bertahan dari semua yang menyerang. Sikap kita terhadap hiduplah yang menentukan, akan kemana kita pergi. Semua yang datang dari luar hanya berpengaruh 10% saja. Ya, kita akan terus bertahan dari badai hidup dunia ini sampai pada akhirnya kita sampai pada fase dimana kita harus “beristirahat”. Lelah luar biasa menghampiri kita. Kita harus merenung bukan meratap. Menyingkir dari dunia barang sejenak bukan melarikan diri. Inilah yang disebut fase kepompong, anak-anakku.” Aku perhatikan sebagian siswaku manggut-manggut dan sebagian lagi seperti orang kebingungan.
“Fase kepompong, Bu? Maksudnya, Bu?” Tanya seorang siswa.
“Anak-anak, pada fase kepompong ini merupakan saat yang paling penting bagi hidup kita. Karena disinilah karakter kita yang sesungguhnya tengah diuji. Apakah kita pemenang atau pecundang? Kita ‘menggeliat’ dalam pikiran. Kita bergumul, bergumul, dan bergumul. Disinilah si ulat-kepompong memutuskan, ‘ya saya tahu tujuan hidup saya, yaitu untuk menjadi kupu-kupu, saya harus keluar dari ‘kepompong’ ini.’ Ya, secercah cahaya dari lubang kecil yang dilihatnya itu memberikan harapan kepadanya. Dia berusaha menerobos keluar. Sulit. Terlalu kecil. Dia berusaha sekuat tenaga. Setengah mati. Bahkan hampir mati. Tetapi ia tahu, pada cahaya tersebut, tujuan hidupnya akan tercapai. Ia terus berusaha. Dan akhirnya berhasil.”
“Si Kepompong lahir sebagai kupu-kupu kan, Bu?” Tanya seorang siswa dengan antusias.
“Benar sekali, udara segar berhasil dihirupnya. Ia terbang kesana-kemari. Ia segera mencari tumbuh-tumbuhan yang dulu ia makan daunnya sebagai ulat. Ia siangi tumbuhan tersebut seolah berkata, ‘Terima kasih tumbuhan yang baik karena engkau,aku bisa mencapai tujuan hidupku. Untuk itu giliran aku yang membantu kamu. Aku siangi tubuhmu hingga kamu tumbuh subur dan berbuah sehingga kamu pun mencapai tujuan hidup kamu. Yaitu menghasilkan udara segar bagi dunia yang indah ini dan memberikan makanan bagi manusia yang merawat bumi ini.’” Aku begitu bersemangat melanjutkan ceritaku. “Anak-anak, seandainya kalian melihat kepompong, dimana seekor kupu-kupu sedang mencoba keluar dari kepompong tersebut, apa tindakan kalian?” Aku mencoba bertanya kepada siswa-siswaku.
“Saya akan membantu kupu-kupu tersebut untuk keluar dengan cara menggunting kepompongnya, Bu.” Celetuk seorang siswa.
“Saya akan melihatnya sampai kupu-kupu itu keluar, Bu.” Jawab siswa yang lain.
“Baiklah, ada dua pendapat. Kira-kira pendapat siapa yang benar?” Tanyaku kemudian. Semua siswa terdiam.
“Jika kita membantu dengan cara menggunting kepompong tersebut, si kupu-kupu pasti akan keluar, tetapi tahukah apa yang terjadi kemudian? Kupu-kupu tersebut keluar dan segera mati.” Kataku menjelaskan.
“ Kenapa, Bu? Saya kan berniat baik. Saya memberi jalan pintas. Kasian kan?” Sela seorang siswa.
“Kenapa? Jawabnya adalah karena perjuangan kupu-kupu tersebut untuk keluaar dari kepomponglah yang membuat ia kuat. Perjuangan tersebut yang membuat sayap-sayapnya kuat. Jalan pintas hanya membuat ia lemah dan hanya mampu merayap di tanah kemudian mati.” Sambungku. Kuperhatikan seluruh siswa semakin antusias menunggu kelanjutan ceritaku. Jadi Lebih baik, kita saksikan saja perjuangannya. Kupu-kupu yang berhasil keluar setelah melalui perjuangan yang sangat berat, akhirnya kupu-kupu itu tampil dengan pakaian yang sangat mewah. Pakaian kupu-kupu tersebut seolah hadiah dari Tuhan untuk menghargai perjuangan hidupnya. Untuk menghibur hatinya karena penghinaan yang ia terima sebagai ulat. Seolah-olah mahkota kemenangan baginya karena ia telah berhasil dalam perjuangan hidupnya mengejar tujuan yang sudah dirancang baginya.” Lanjutku.
“Lantas apa hubungan antara cerita ibu dengan kita, Bu?” Tanya seorang siswa penasaran.
“Pertanyaan yang sangat bagus, Nak. Sebagai manusia kita sering mengalami hal-hal sulit. Misalnya : masalah keuangan, karier, penghianatan, penghinaan, pelecehan, kehilangan orang tua, saudara, kekasih, dan lain sebagainya. Semua itu membuat kita stress dan frustasi. Kadang kita pun membandingkan diri kita dengan orang lain. Kita pasti pernah mengalami semua itu. Tetapi kita pun harus yakin bahwa kita akan bertahan. Karena kita diciptakan Allah, SWT sebagai pemenang, bukan pecundang. Semua hal tersebut ‘ada’ dan ‘terjadi’ pada kita untuk membuat kita kuat. Ya, kuat. Kuat untuk ‘menyiangi’ dunia ini. Kuat secara mental untuk menerima kemakmuran yang sudah Allah SWT sediakan bagi kita. Kuat untuk menjadi berkah bagi sesama manusia. Jadi jika kita mengalami hal tersebut, bertahanlah. Allah SWT tidak akan diam. Ia selalu bersama kita di saat kita berada dalam fase ‘kepompong hidup’ kita. Cahaya yang kita lihat sebagai pembimbing untuk keluar itu adalah cahaya kemuliaanNya. Ia menunggu kita diujung cahaya sambil berkata, ‘Berjuanglah, sedikit lagi, kamu pasti bisa, ayo berjuanglah terus.’” Kulihat semua siswaku terdiam .
Tiba-tiba….“Tet… tet…tet…” Terdengar suara bel istirahat berbunyi.
“Nah anak-anak, untuk sementara sampai disini dulu cerita ibu, lain kali kita teruskan dengan cerita yang lain pula. Selamat siang anak-anak.” Hari ini sudah banyak yang aku lakukan buat siswa-siswaku, semoga ceritaku kali ini bisa menjadi pegangan hidup mereka dan juga diriku. Amin. (Wien)
“Siapa yang tahu ulat…?” Tanyaku.
“Saya Bu.” Jawab siswaku serempak.
“Ya, Semua orang pasti tahu ulat. Apa pendapat kalian tentang ulat?” Tanyaku kemudian.
“Hiiiii….. menjijikan, Bu.” Jawab salah seorang siswa.
“Ulat adalah binatang perusak, Bu.” Jawab siswa yang lain.
“Ya, benar. Kalau kita bicara tentang ulat, yang ada dalam benak kita pastilah sesuatu yang menjijikan, binatang perusak, dan selalu memakan tanaman yang telah kita pelihara dengan baik. Karena ulat tanaman kita jadi rusak. Daunnya berlubang-lubang. Setiap orang pasti bergidik dan tidak mau memegang ataupun hanya sekedar memandanginya.” Tegasku. Kuperhatikan siswaku satu per satu. Sepertinya mereka heran, kenapa aku berbicara masalah ulat yang tidak ada hubungan sama sekali dengan pelajaran yang biasa aku ajarkan. “Akan tetapi, apakah kalian pernah berfikir seandainya ulat itu bisa berbicara, kira-kira apa yang mereka katakan?” Tanyaku yang membuat mereka jadi semakin penasaran.
“ Seandainya ulat bisa bicara, saya yakin ulat itu pasti berkata, “Tolonglah tumbuhan, ijinkan aku memakanmu sedikit demi sedikit, sampai aku tumbuh menjadi besar, lalu aku berubah menjadi kepompong, dan setelah beberapa saat aku akan berubah jadi kupu-kupu. Maka sebagai balasan atas jasamu, aku akan menyiangimu sampai kau bisa berbuah. Bagaimana tumbuhan? Setuju bukan? Ya, memang, daunmu akan berlubang-lubang.” Jawab seorang siswa dengan wajah memelas. Semua siswa tertawa mendengarnya.
“Iya, benar. Tahukah kalian, tanpa kita sadari, sebenarnya fase hidup ulat menggambarkan sekilas dari kehidupan kita. Kita pasti pernah berada pada ‘posisi’ ulat. Kita sering dihina, ditendang, dan dicaci maki. Jika ada orang yang melihat kita, mereka seolah ingin membunuh kita, mereka seolah berharap bahwa kita tidak pernah dilahirkan. Bagaimana sikap kita terhadap perlakuan seperti itu? Proaktifkah? Atau reaktif?” Aku semakin bersemangat karena melihat tanggapan dari siswa-siswaku.
“Maksud, Ibu?” Tanya seorang siswa.
“Begini. Coba kita contoh ulat. Tujuan hidup ulat adalah untuk menjadi seekor kupu-kupu yang indah. Yang pada akhirnya menyiangi tumbuh-tumbuhan sehingga tumbuhan tersebut berbuah dan berguna bagi kita manusia. Ya, kita sudah seharusnya bertahan dari semua yang menyerang. Sikap kita terhadap hiduplah yang menentukan, akan kemana kita pergi. Semua yang datang dari luar hanya berpengaruh 10% saja. Ya, kita akan terus bertahan dari badai hidup dunia ini sampai pada akhirnya kita sampai pada fase dimana kita harus “beristirahat”. Lelah luar biasa menghampiri kita. Kita harus merenung bukan meratap. Menyingkir dari dunia barang sejenak bukan melarikan diri. Inilah yang disebut fase kepompong, anak-anakku.” Aku perhatikan sebagian siswaku manggut-manggut dan sebagian lagi seperti orang kebingungan.
“Fase kepompong, Bu? Maksudnya, Bu?” Tanya seorang siswa.
“Anak-anak, pada fase kepompong ini merupakan saat yang paling penting bagi hidup kita. Karena disinilah karakter kita yang sesungguhnya tengah diuji. Apakah kita pemenang atau pecundang? Kita ‘menggeliat’ dalam pikiran. Kita bergumul, bergumul, dan bergumul. Disinilah si ulat-kepompong memutuskan, ‘ya saya tahu tujuan hidup saya, yaitu untuk menjadi kupu-kupu, saya harus keluar dari ‘kepompong’ ini.’ Ya, secercah cahaya dari lubang kecil yang dilihatnya itu memberikan harapan kepadanya. Dia berusaha menerobos keluar. Sulit. Terlalu kecil. Dia berusaha sekuat tenaga. Setengah mati. Bahkan hampir mati. Tetapi ia tahu, pada cahaya tersebut, tujuan hidupnya akan tercapai. Ia terus berusaha. Dan akhirnya berhasil.”
“Si Kepompong lahir sebagai kupu-kupu kan, Bu?” Tanya seorang siswa dengan antusias.
“Benar sekali, udara segar berhasil dihirupnya. Ia terbang kesana-kemari. Ia segera mencari tumbuh-tumbuhan yang dulu ia makan daunnya sebagai ulat. Ia siangi tumbuhan tersebut seolah berkata, ‘Terima kasih tumbuhan yang baik karena engkau,aku bisa mencapai tujuan hidupku. Untuk itu giliran aku yang membantu kamu. Aku siangi tubuhmu hingga kamu tumbuh subur dan berbuah sehingga kamu pun mencapai tujuan hidup kamu. Yaitu menghasilkan udara segar bagi dunia yang indah ini dan memberikan makanan bagi manusia yang merawat bumi ini.’” Aku begitu bersemangat melanjutkan ceritaku. “Anak-anak, seandainya kalian melihat kepompong, dimana seekor kupu-kupu sedang mencoba keluar dari kepompong tersebut, apa tindakan kalian?” Aku mencoba bertanya kepada siswa-siswaku.
“Saya akan membantu kupu-kupu tersebut untuk keluar dengan cara menggunting kepompongnya, Bu.” Celetuk seorang siswa.
“Saya akan melihatnya sampai kupu-kupu itu keluar, Bu.” Jawab siswa yang lain.
“Baiklah, ada dua pendapat. Kira-kira pendapat siapa yang benar?” Tanyaku kemudian. Semua siswa terdiam.
“Jika kita membantu dengan cara menggunting kepompong tersebut, si kupu-kupu pasti akan keluar, tetapi tahukah apa yang terjadi kemudian? Kupu-kupu tersebut keluar dan segera mati.” Kataku menjelaskan.
“ Kenapa, Bu? Saya kan berniat baik. Saya memberi jalan pintas. Kasian kan?” Sela seorang siswa.
“Kenapa? Jawabnya adalah karena perjuangan kupu-kupu tersebut untuk keluaar dari kepomponglah yang membuat ia kuat. Perjuangan tersebut yang membuat sayap-sayapnya kuat. Jalan pintas hanya membuat ia lemah dan hanya mampu merayap di tanah kemudian mati.” Sambungku. Kuperhatikan seluruh siswa semakin antusias menunggu kelanjutan ceritaku. Jadi Lebih baik, kita saksikan saja perjuangannya. Kupu-kupu yang berhasil keluar setelah melalui perjuangan yang sangat berat, akhirnya kupu-kupu itu tampil dengan pakaian yang sangat mewah. Pakaian kupu-kupu tersebut seolah hadiah dari Tuhan untuk menghargai perjuangan hidupnya. Untuk menghibur hatinya karena penghinaan yang ia terima sebagai ulat. Seolah-olah mahkota kemenangan baginya karena ia telah berhasil dalam perjuangan hidupnya mengejar tujuan yang sudah dirancang baginya.” Lanjutku.
“Lantas apa hubungan antara cerita ibu dengan kita, Bu?” Tanya seorang siswa penasaran.
“Pertanyaan yang sangat bagus, Nak. Sebagai manusia kita sering mengalami hal-hal sulit. Misalnya : masalah keuangan, karier, penghianatan, penghinaan, pelecehan, kehilangan orang tua, saudara, kekasih, dan lain sebagainya. Semua itu membuat kita stress dan frustasi. Kadang kita pun membandingkan diri kita dengan orang lain. Kita pasti pernah mengalami semua itu. Tetapi kita pun harus yakin bahwa kita akan bertahan. Karena kita diciptakan Allah, SWT sebagai pemenang, bukan pecundang. Semua hal tersebut ‘ada’ dan ‘terjadi’ pada kita untuk membuat kita kuat. Ya, kuat. Kuat untuk ‘menyiangi’ dunia ini. Kuat secara mental untuk menerima kemakmuran yang sudah Allah SWT sediakan bagi kita. Kuat untuk menjadi berkah bagi sesama manusia. Jadi jika kita mengalami hal tersebut, bertahanlah. Allah SWT tidak akan diam. Ia selalu bersama kita di saat kita berada dalam fase ‘kepompong hidup’ kita. Cahaya yang kita lihat sebagai pembimbing untuk keluar itu adalah cahaya kemuliaanNya. Ia menunggu kita diujung cahaya sambil berkata, ‘Berjuanglah, sedikit lagi, kamu pasti bisa, ayo berjuanglah terus.’” Kulihat semua siswaku terdiam .
Tiba-tiba….“Tet… tet…tet…” Terdengar suara bel istirahat berbunyi.
“Nah anak-anak, untuk sementara sampai disini dulu cerita ibu, lain kali kita teruskan dengan cerita yang lain pula. Selamat siang anak-anak.” Hari ini sudah banyak yang aku lakukan buat siswa-siswaku, semoga ceritaku kali ini bisa menjadi pegangan hidup mereka dan juga diriku. Amin. (Wien)
Subscribe to:
Posts (Atom)